DASAR-DASAR FILOSOFIS PENDIDIKAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Filsafat
sering dituduh sebagai ilmu pengetahuan yang membingungkan, dan banyak kalangan
yang mempelajari filsafat berakhir dengan rasa pusing dan ketidakmengertian.
Padahal, sebagai ilmu pengetahuan yang usianya sudah sangat tua, filsafat
banyak diminati oleh para pemikir atau tidak sedikit penggemar dan pecintanya.
Mengapa banyak orang yang bingung mempelajari filsafat? Karena mereka
mempelajari filsafat tanpa pembimbing dan metode yang baik dan benar, apalagi jika
mempelajarinya setengah-setengah dan tidak sampai mendalam. Bisa jadi banyak
pengajar filsafat yang merasa senang membingungkan peserta didiknya,
seolah-olah kepuasan filosofis terletak pada kebingungannya atau
membingungkannya.
Usia
filsafat sudah sepuh, perjalanannya telah memberikan bentuk-bentuk pemikiran
yang bervariasi, juga telah melahirkan berbagai aliran dan paham mengideologis.
Seluruh disiplin ilmu diciptakan oleh filsafat dan memiliki landasan
filosofisnya. Oleh karena itu tidak heran jika ada filsafat diseluruh disiplin
ilmu. Misalnya filsafat sosial, filsafat ekonomi, filsafat agama, filsafat
sejarah, filsafat negara, filsafat politik, filsafat psikologi, filsafat etika,
filsafat tasawuf,dan filsafat pendidikan.
Dalam
makalah ini kami akan menguraikan berbagai hal yang menjadi dasar-dasar
filosofis dalam memandang ilmu pengetahuan.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi
rumusan masalah dalam pembahasan inni adalah
- Apa yang dimaksud dengan landasan atau dasar filosofis?
- Apa saja yang menjadi dasar-dasar filosofis?
1.3. Tujuan Penulisan
- Menjelaskan pengertian landasa atau dasar filosofis.
- Menjelaskan dasar-dasar Filosofis.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Landasan Filosofis
Pendidikan
Landasan
menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (1995: 260) sebagai alas, dasar, atau tumpuan. dasar dikenal
pula sebagai fundasi. Mengacu kepada pengertian tersebut, kita dapat memahami
bahwa landasan adalah suatu alas atau dasar pijakan dari sesuatu hal; suatu
titik tumpu atau titik tolak dari sesuatu hal.
Berdasarkan sifat
atau suatu fundasi tempat
berdirinya sesuatu hal wujudnya terdapat dua jenis landasan, yaitu landasan
yang bersifat material, dan landasan yang bersifat konseptual. Contoh landasan
yang bersifat material antara lain berupa landasan pacu pesawat terbang dan
fundasi bangunan gedung. Adapun contoh landasan yang bersifat konseptual antara
lain berupa dasar Negara Indonesia yaitu Pancasila dan UUD RI Tahun 1945;
landasan pendidikan, dan sebagainya.
Filosofis, berasal dari
bahasa Yunani yang terdiri atas suku kata philein/philos yang artinya cinta dan
sophos/Sophia yang artinya kebijaksanaan, hikmah, ilmu, kebenaran. Secara
maknawi filsafat dimaknai sebagai suatu pengetahuan yang mencoba untuk memahami
hakikat segala sesuatu untuk mencapai kebenaran atau kebijaksanaan. Untuk
mencapai dan menemukan kebenaran tersebut, masing-masing filosof memiliki
karakteristik yang berbeda antara yang satu dengan lainnya. Demikian pula
kajian yang dijadikan obyek telaahan akan berbeda selaras dengan cara pandang
terhadap hakikat segala sesuatu.[1]
Manfaat filsafat
dalam kehidupan adalah : Sebagai dasar dalam mengambil
dan Sebagai dasar dalam bertindak. Untuk
bersiap Untuk mengurangi salah paham dan
konflik. keputusan. Filosofi
siaga menghadapi situasi
dunia yang selalu berubah.
Pendidikan adalah usaha
sadar dan Pendidikan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan
masyarakat.
Landasan Filosofis
Pendidikan Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa landasan
filosofis pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari
filsafat yang menjadi titik tolak dalam pendidikan.[2]
2.2 Dasar-Dasar Filosofis
Semua pengetahuan apakah itu
ilmu, seni atau pengetahuan apa saja para Filosof mengkaji
pada dasar-dasar landasan berikut, yaitu :
2.2.1 Landasan Ontologis
Ontologi membahas tentang apa yang
ingin diketahui atau dengan kata lain merupakan suatu pengkajian mengenai
tentang teori yang ada. Dasar ontologis dari ilmu berhubungan dengan materi
yang menjadi objek penelaahan ilmu.
Berdasarkan objek yang telah
ditelaahnya, ilmu dapat disebut sebagai pengetahuan empiris, karena objeknya
adalah sesuatu yang berada dalam jangkauan pengalaman manuskia yang mencakup
seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera manusia. Berlainan
dengan agama atau bentuk-bentuk pengetahuan yang lain, ilmu membatasi diri
hanya kepada kejadian-kejadian yang empiris, selalu berorientasi terhadap dunia
empiris.[3]
Dilihat dari landasan ontologi, maka
ilmu akan berlainan dengan bentuk-bentuk pengetahuan lainnya. Ilmu yang
mengkaji problem-problem yang telah diketahui atau yang ingin diketahui yang
tidak terselesaikan dalam pengetahuan sehari-hari. Masalah yang dihadapi adalah
masalah nyata. Ilmu menjelaskan berbagai fenomena yang memungkinkan manusia
melakukan tindakan untuk menguasai fenomena tersebut berdasarkan penjelasan
yang ada.
Ilmu dimulai dari kesangsian atau
keragu-raguan bukan dimulai dari kepastian, sehingga berbeda dengan agama yang
dimulai kepastian. Ilmu memulai dari keragu-raguan akan objek yang berada dalam
jangkauan pengalaman manusia. Objek pengenalan ilmu mencakup kejadian-kejadian
atau seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh pengalaman manusia.
Jadi ontologi ilmu adalah ciri-ciri
yang essensial dari objek ilmu yang berlaku umum, artinya dapat berlaku juga
bagi cabang-cabang ilmu yang lain. Ilmu berdasar beberapa asumsi dasar untuk
mendapatkan pengetahuan tentang fenomena yang menampak. Asumsi dasar ialah
anggapan yang merupakan dasar dan titik tolak bagi kegiatan setiap cabang ilmu
pengetahuan.
Asumsi dasar ini menurut Endang Saifudin ada dua macam
sumbernya:
·
Mengambil dari poslutat, yaitu kebenaran-kebenaran
apriori, yaitu dalil yang dianggap benar walaupun kebenarannya tidak dapat
dibuktikan, kebenaran yang sudah diterima sebelumnya secara mutlak.
·
Mengambil dari teori sarjana atau ahli yang lain
terdahulu, yang kebenarannya disangsikan lagi oleh masyarakat, terutama oleh si
penyelidik itu sendiri.
Mengenai asumsi dasar dalam
keilmuan, Harsojo menyebutkan tentang macamnya dalam karangan “apakah ilmu itu
dan ilmu gabungan tentang tingkah laku manusia” meliputi:[4]
1. Dunia itu
ada, dan kita dapat mengetahui bahwa dunia itu benar ada. Apakah
benar dunia ada? Pertanyaan itu bukanlah pertanyaan ilmiah, melainkan
pertanyaan filsafat. Oleh karena itu ilmu yang kita pelajari itu adalah ilmu
pengetahuan empiris, maka landasanya adalah dunia empiris itu sendiri, yang
eksistensinya tidak diragukan lagi. “Dunia itu ada” diterima oleh ilmu dengan
begitu saja, dengan apriori atau dengan kepercayaan. Setelah ilmu menerima
kebenaran eksistensi dunia empiris itu, barulah ilmu mengajukan
pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut, seperti misalnya: Bagaimanakah dunia
empiris alam dan social itu tersusun.
2. Dunia
empiris itu dapat diketahui oleh manusia melalui pancaindera. Mungkin ada
jalan-jalan lain untuk mendapatkan pengetahuan mengenai dunia empiris itu, akan
tetapi bagi ilmu satu-satunya ialah jalan untuk mengetahui fakta ilmiah adalah
melalui pancaindera. Adanya penyempurnaan terhadap pancaindera manusia dengan
membuat alat-alat ekstension yang lebih halus … tidak mengurangi kenyataan bahwa
pengetahuan tentang dunia empiris itu diperoleh melalui pancaindera. Ilmu
bersandar kepada kemampuan pancaindera manusia beserta alat-alat ekstentionnya.
3.
Fenoma-fenomena yang terdapat di dunia ini berhubungan
satu sama lain secara kausal.Berdasarkan atas postulat bahwa
fenomena-fenomena di dunia itu saling berhubungan secara kausal, maka ilmu
nencoba untuk mencari dan menemukan sistem, struktur, organisasi, pola-pola dan
kaidah-kaidah di belakang fenomena-fenomena itu, dengn jalan menggunakan metode
ilmiahnya.
2.2.2 Metafisika
Filsafat adalah sebuah refleksi atas
semua yang ada, seluruh realitas. Metafisika adalah pengetahuan yang
mempersoalkan hakikat terakhir eksistensi, yang erat hubungannya dengan ilmu
pengetahuan alam. Metafisika tidak hanya sekedar bentuk pengetahuan, melainkan
sebuah bentuk pengetahuan yang bersiftat sistematik.
Dalam arti tertentu metafisika
merupakan sebuah ilmu, yakni suatu pencarian dengan daya intelek yang bersifat
sistematis atas data pengalaman yang ada. Masalah metafisika adalah masalah
yang paling dasar dan menjadi inti dalam filsafat. Metafisika dan filsafat pada
umumnya ingin mengantar orang kepada kehidupan. Metafisiska sebagai ilmu
yang mempunyai objeknya tersendiri. Hal ini memebedakannya dari pendekatan
rasional yang lain. Objek telaahan metasifika berbeda dari ilmu alam,
matematika, ilmu kedokteran.[5]
Metafisika adalah studi filosofis yang objeknya untuk menentukan arti,
struktur dan prinsip-prinsip. walaupun ini mengacu pada sesuatu yang terlalu
halus dan sangat teoritis dan meskipun mengalami banyak kritik. Maka
banyak pertanyaan metafisika yang paling mendasar dan paling komprehensif,
karena metafisika berkaitan dengan realitas secara keseluruhan.[6]
Pemikiran metafisika bagi para
filosof barat itu berbeda-beda. Yaitu dapat dilihat dalam uraian berikut:
- Menurut Plato metafisika lebih cenderung pada manusia
karena manusia terdiri dari tubuh dan jiwa. Dimana sifat tubuh adalah
material, sedang sifat jiwa adalah immaterial.
- Kosmologis (alam semesta) menurut Aristoteles,
Keteraturan alam semesta ini ditentukan oleh gerak (motion). Gerak
merupakan penyebab terjadinya perubahan (change) di alam semesta.
Akhirnya akal manusia tiba pada suatu titik yang ultimate, yaitu
sumber penyebab dari semua gerak, yaitu Unmoved Mover, Penggerak
yang tadak digerakkan.
- Cristian Wloff mengkasifikasi metafisika
menjadi dua yaitu, metafisika generalis (ontologi) dan metafisika
specialis (kosmologi, psikologi, dan theologi). Dimana metafisika
generalis adalah yang dapat di serap oleh inderawi, sedangkan metafisika
specialis adalah yang tidak dapat di serap oleh inderawi.
- Metafisika generalis yaitu ontologi (ilmu
tentang ada atau pengada).
- Metafisika specialis terdiri dari:
·
Kosmologi (alam semesta)
·
Psikologi (Jiwa)
·
Theologi (Tuhan).
Pemikiran tokoh Islam Al-Kindi mengenai metafisika
Tentang filsafat al-Kindi memandang
bahwa filsafat haruslah diterima sebagai bagian dari peradaban Islam. Ia
berupaya menunjukkan bahwa filsafat dan agama merupakan dua barang yang bisa
serasi, ia menegaskan pentingnya kedudukan filsfat dengan menyatakan bahwa
aktifitas filsafat yang definisi nya adalah mengetahui hakikat sesuatu sejauh
batas kemampuan manusia dan tugas filosof adalah mendapatkan kebenaran.[7]
Tentang
metafisika alam al-Kindi mengatakan bahwa alam ini adalah illat-Nya. Alam itu
tidak mempunyai asal, kemudian menjadi ada karena diciptakan Tuhan. Al-Kindi
juga menegaskan mengenai hakikat Tuhan, Tuhan adalah wujud yang hak (benar)
yang bukan asalnya tidak ada menjadi ada, ia selalu mustahil tidak ada, jadi
Tuhan adalah wujud yang sempurna yang tidak didahului oleh wujud yang lain.
Posisi Metafsisika dalam Objek
Filsafat
- Objek Filsafat
Objek filsafat adalah sesuatu yang
merupakan bahan dari suatu penelitian atau pembentukan pengetahuan. Setiap ilmu
pengetahuan pasti mempunyai objek yang di bedakan menjadi dua yaitu objek
material dan dan objek formal.[8]
·
Objek material filsafat yaitu suatu bahan yang menjadi
tinjauan penelitian atau pembentukan pengetahuan itu. Objek material adalah hal
yang di selidiki, di pandang atau di sorot oleh suatu disiplin ilmu. Objek
material mencangkup hal-hal yang konkret ataupun hal-hal yang abstrak.
·
Objek formal yaitu sudut pandang yang di tujukan pada
bahan dari spenelitian atau pembentukan pengetahuan itu. Objek formal filsafat
yaitu pandangan yang menyeluruh secara umum , sehingga dapat mencapai hakikat
dari objek materialnya. Objek formalnya membahas objek material itu sampai ke
hakikat atau esensi yang di hadapinya.
Metafisika
di dalam Objek Filsafat
Metafisika adalah cabang
filsafat yang harus di teliti keberadaanya. Metafiska berkaitan dengan
objek formal filsafat yaitu menelaah secara keseluruhan sehingga dapat mencapai
hakikat dari objek materialnya. Adapun objek formalnya membahas objek
material itu sampai ke hakikat atau esensi yang di hadapinya.
Objek
Metafisika
Objek metafisika itu sendiri menurut
Prof. B. Delfgaauw adalah objek yang tidak dapat ditangkap dengan panca indera.
Menurut Hoffmann objek metafisika adalah pikiran, gerak waktu, sebab, akibat,
tujuan, cara, hukum, moral, dll.
2.2.3
Epistemologis
Epistimologi membahas secara
mendalam segenap proses yang terlibat dalam usaha untuk memperoleh pengetahuan.
Dengan kata lain, epistimologi adalah suatu teori pengetahuan. Ilmu merupakan
pengetahuan yang diperoleh melalui proses tertentu yang dinamakan metode
keilmuan. Kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apapun selama hal itu
terbatas pada objek empiris dan pengetahuan tersebut diperoleh dengan
menggunakan metode keilmuan, sah disebut keilmuan. Kata-kata sifat keilmuan
lebih mencerminkan hakikat ilmu daripada istilah ilmu sebagai kata benda.
Hakikat keilmuan ditentukan oleh cara berfikir yang dilakukan menurut syarat
keilmuan yaitu bersifat terbuka dan menjunjung kebenaran diatas
segala-segalanya.[9]
Epistemologi adalah bagian ilmu yang
membahas pengetahuan manusia dalam berbagai jenis dan ukuran kebenarannya.
Karena itu dalam pembahasan epistemologi biasanya berhubungan dengan apa itu
pengetahuan? Apa yang dapat kita ketahui? Bagaimana cara kita mengetahui sesuatu?
Bagaimana relasi pengetahuan dengan kepercayaan, konsepsi, persepsi, intuisi,
dan sebagainya? sampai persoalan apa yang menjadi ukuran kebenaran bagi
pengetahuan tersebut?.
Secara umum dipahami bahwa
epistemologi menjadi landasan nalar filsafat, untuk memberikan keteguhan dan
kekukuhannya bahwa manusia dapat memperoleh kebenaran dan pengetahuan. Di bawah
ini, dapat disebutkan beberapa nilai penting epistemologi, yaitu:
1) Epistemologi memberikan kepercayaan bahwa manusia mampu mencapai pengetahuan. Kita
ketahui bahwa pada masa Yunani Kuno, ada kelompok sophis yang menggugat
kemampuan manusia untuk memperoleh pengetahuan, dan masa kini kelompok ini
lebih dikenal dengan skeptisisme dan agnotisisme. Kelompok ini menegaskan bahwa
manusia tidak memiliki pengetahuan, karena tidak ada fondasi yang pasti bagi
pengetahuan kita. Untuk itulah, maka kajian epistemologi penting guna mengupas
problematika ini sehingga kita dapat menyatakan bahwa manusia dapat memperoleh
pengetahuan dan mendapatkan kepastian.
2) Epistemologi memberikan manusia keyakinan yang kuat akan pandangan dunia
(world view) dan ideologi yang dianutnya. Agama berisi pandangan dunia,
pandangan dunia diperoleh melalui penalaran filsafat yang basisnya
epistemologi. Karena itu, jika epistemologinya kokoh, maka kajian filsafatnya
juga akan kokoh sehingga pandangan dunia dan ideologi, serta agama yang dianut
pun akan memiliki kekokohan dan keutuhan.
3) Di dunia ini banyak aliran pemikiran yang berkembang dan terus
disosialisasikan oleh para penganutnya. Karena setiap aliran pemikiran didapat
dari penyimpulan pengetahuan, ini berarti pemikiran juga berurusan dengan
epistemologi. Untuk itu, epistemologi akan memberikan kita kemampuan untuk
memilih dan memilah pemikiran yang berkembang dan membanding-bandingkannya
sehingga diketahui mana yang benar dan mana yang keliru.
4) Epistemologi mengukuhkan nilai dan kemampuan akal serta kebenaran dan
kesahihan metodenya dalam mendapatkan pengetahuan yang benar. Bagi
kalangan empirisme, indera merupakan jalan utama memperoleh pengetahuan. Adapun
akal, tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang dunia, karena—seperti
dikatakan David Hume—semua yang masuk akal tentang dunia adalah bersifat
induktif, dan pemikiran induktif tidak menjamin kebenaran hasilnya. Jadi
epistemologi akan mengkaji leshahihan metode akal atau pun metode empiris.
5) Salah satu hal yang sering kita lakukan adalah tindakan akumulatif
pengetahuan. Artinya, manusia memiliki kemampuan untuk memperbanyak pengetahuan
dari berbagai hal yang umumnya telah kita ketahui terlebih dahulu. Untuk
itulah, epistemologi memberikan sarana bagi manusia untuk melipatgandakan
pengetahuannya dari bahan-bahan dasar yang telah ada dalam mentalnya melalui
teknik-teknik yang sistematis dan teratur.
2.2.4. Aksiologi
Jika ontologi berbicara tentang
hakikat yang ada (objek ilmu) dan epistemologi berbicara tentang bagaimana yang
ada itu bisa diperoleh (cara memperoleh ilmu) maka aksiologi berkaitan dengan
manfaat dari pada ilmu itu sendiri atau kaitan penerapan ilmu itu dengan
kaidah-kaidah moral.
Aksiologi berasal dari bahasa Yunani yaitu
axion yang berarti “nilai” dan logos yang berarti “ilmu” atau
“teori”. Jadi, aksiologi adalah ilmu tentang nilai. Adapun Jujun S. Suriasumantri
dalam bukunya Filsafat Ilmu mengatakan bahwa aksiologi adalah
cabang filsafat yang mempelajari tentang nalai secara umum. Sebagai landasan
ilmu, aksiologi mempertanyakan untuk apa mpengetahuan yang berupa ilmu itu
dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan
kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan
pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral atau profesional?
Menurut Brameld, ada tiga bagian yang membedakan di
dalam aksiologi. Pertama, moral conduct, tindakan moral. Bidang ini melahirkan
disiplin khusus yaitu etika. Kedua, esthetic expression, ekspresi
keindahan yang melahirkan estetika. Ketiga, socio-political life,
kehidupan sosio-politik. Bidang ini melahirkan ilmu filsafat sosio-politik.
1.
Teori Nilai (Etika)
Problem aksiologis yang pertama berhubungan dengan
nilai. Berkaitan dengan masalah nilai sebenarnya telah dikaji secara mendalam
oleh filsafat nilai. Oleh sebab itu dalam kesempatan kali ini akan dibahas
beberapa hal saja yang kiranya penting untuk dipaparkan berkaitan dengan
masalah nilai. Tema-tema yang muncul seputar masalah ini misalnya apakah nilai
itu subjektif atau objektif.
Perdebatan tentang
hakikat nilai, apakah ia subjektif atau objektif selalu menarik perhatian. Ada
yang berpandangan bahwa nilai itu objektif sehingga ia bersifat universal. Di mana
pun tempatnya, kapanpun waktunya, ia akan tetap dan diterima oleh semua orang.
Ambil misal mencuri, secara objektif ini salah karena hal itu merupakan
perbuatan tercela. Siapa pun orangnya, di mana pun dan kapanpun pasti akan
sepakat bahwa mencuri dan perbuatan tercela lainnya adalah salah. Jadi nilai
objektif itu terbentuk jika kita memandang dari segi objektivitas nilai.[10]
Sementara jika kita
melihat dari segi diri sendiri terbentuklah nilai subjektif. Nilai itu tentu
saja bersifat subjektif karena berbicara tentang nilai berarti berbicara
tentang penilaian yang diberikan oleh seseorang terhadap sesuatu. Tentunya
penilaian setiap orang berbeda-beda tergantung selera, tempat, waktu, dan juga
latar belakang budaya, adat, agama, pendidikan, yang memengaruhi orang
tersebut. Misalnya bagi orang Hindu tradisi Ngaben (membakar mayat orang mati)
merupakan suatu bentuk penghormatan terhadap orang mati dan bagi mereka hal itu
dianggap baik dan telah menjadi tradisi. Namun bagi orang Islam hal itu diangap
tidak baik. Berhubungan seksual di luar nikah asal atas dasar suka sama suka
hal ini tidak menjadi masalah dan biasa di Barat. Tapi bagi orang Islam hal itu
jelas hina, jelek, dan salah. Bagi orang-orang terdahulu, ada beberapa hal yang
dianggap tabu, tidak boleh dilakukan dan tidak pantas tapi hal-hal tersebut
tidak lagi bermasalah bagi orang-orang sekarang ini. Dari sini bisa dilihat
bahwa nilai itu bersifat subjektif tergantung siapa yang menilai, waktu dan
tempatnya.
Berbicara tentang
nilai berarti berbicara tentang baik dan buruk bukan salah dan benar. Apa yang
baik bagi satu pihak belum tentu baik pula bagi pihak yang lain dan sebaliknya.
Apa yang baik juga belum tentu benar misalnya lukisan porno tentu bagus—setiap
orang tidak mengingkarinya kecuali mereka yang pura-pura dan sok bermoral—tapi
itu tidak benar. Membantu pada dasarnya adalah baik tapi jika membantu orang
dalam tindakan kejahatan adalah tidak benar.
Jadi, persoalan nilai
itu adalah persoalan baik dan buruk. Penilaian itu sendiri timbul karena ada
hubungan antara subjek dengan objek. Tidak ada sesuatu itu dalam dirinya sendiri
mempunyai nilai. Susuatu itu baru mempunyai nilai setelah diberikan penilaian
oleh seorang subjek kepada objek. Suatu
barang tetap ada, sekalipun manusia tidak ada, atau tidak ada manusia yang
melihatnya. “Bunga-bunga itu tetap ada, sekalipun tidaak ada mata
manusia yang memandangnya. Tetapi nilai itu tidak ada, kalau manusia tidak ada,
atau manusia tidak melihatnya. Bunga-bunga itu tidak indah, kalau tidak ada
pandangan manusia yang mengaguminya. Karena, nilai itu baru timbul ketika
terjadi hubungan antara manusia sebagai subjek dan barang sebagai objek.”[11]
Namun yang paling
penting dari masalah etika adalah implikasi praksisnya. Artinya sesuatu yang
buruk itu seharusnya ditinggalkan sedangkan yang baik seharusnya dilaksanakan.
Dengan demikian ilmu pengetahuan akan memberikan manfaat bagi kehidupan manusia
bukan justru malah mengancam eksistensi manusia itu sendiri.
Jika kita melihat
fenomena yang ada sekarang ini—dunia modern—bagaimana sebuah ilmu pengetahuan
dan teknologi (IPTEK) banyak yang disalahgunakan untuk tujuan-tujuan kejahatan.
Misalnya saja dalam kejahatan perang. Banyak kasus yang bisa kita utarakan
berkaitan dengan masalah ini seperti Perang Dunia, Perang Teluk, Perang Vietnam
hingga perseturuan antara Palestina dan Israel yang tidak ada henti-hentinya.
Mereka yang secara persenjataan lebih maju seolah dengan alasan pembelaan
membenarkan tindakan pengeboman dan pembantaian masal di mana seringkali
korbannya adalah warga sipil. Tindakan seperti ini tentu tidak bisa dibenarkan,
tak berperikemanusiaan dan amoral. Selain itu juga misalnya pembuatan senjata
nuklir dan senjata pemusnah masal yang jelas sekali mengancam eksistensi
manusia itu sendiri. Itu adalah sekedar contoh dari pemanfaatan teknologi yang
tidak tepat guna. Tentunya masih banyak yang lainnya. Oleh sebab itu aksiologi
dalam hal ini berfungsi untuk memberikan tuntunan bagaimana suatu hal itu bisa
digunakan secara tepat guna.
Memang segala sesuatu
itu—termasuk implikasi kemajuan di bidang ilmu pengetahuan—mempunyai dampak negatif
dan positif. Tapi sebenarnya dampak yang negatif itu bisa dihindari atau
setidaknya diminimalisir. Semua itu adalah demi kepentingan kehidupan manusia
itu sendiri.
2.
Estetika
Estetika (aesthetica) mula-mula berarti teori
tentang pencerapan penghayatan pengalaman indera, sesuai dengan istilah Kant
dengan transzendentale asthetik (teori tentang susunan
penghayatan panca-indra dalam ruang dan waktu, berlawanan dengan transzendentale
logic: pengetahuan rasional dan penuturan). Perlawanan yang dikemukakan
oleh Kant itu juga dinyatakan oleh Baumgarten.
Ia menempatkan logika sebagai teori pemakaian
pemikiran yang benar dan estetika sebagai teori tentang penghayatan sempurna
panca-indera. Masalah yang timbul tentang estetika yang dihadapi oleh banyak
ahli pikir semenjak Plato dan Aristoteles ialah pernyataan tentang hakikat
keindahan dan seni. Dengan demikian seluruh lapangan nilai, dalam mana keindahan
dan seni merupakan bagiannya, dinamakan lapangan estetika, dikordinasikan dengan
logika dan estetika. Estetika dalam
pengertian baru itu diapakai oleh Kant dan Schiller sehingga menjadi umum di
Jerman, meluas ke dalam pemakaian internasional.”[12]
Perdebatan lain yang menarik perhatian berkaitan
dengan masalah estetika adalah tentang keindahan, apakah keindahan itu sesuatu
yang sifatnya objektif atau subjektif? Jika teori tentang nilai mengatakan
bahwa persoalan nilai itu adalah masalah yang subjektif maka sebaliknya dengan
persoalan estetika. Persoalan estetika lebih berpihak pada pandangan
objektivisme. Artinya bahwa keindahan itu merupakan sifat yang objektif yang
dimiliki oleh suatu benda.
Sedangkan Kant memberikan arah yang baru sama sekali
dalam mencari keterangan tentang estetika. Dengan Kant dimulailah studi ilmaih
dan psikologi tentang teori estetika. Ia mengatakan dalam The Critique
of Judgement bahwa akal memiliki indera ketiga di atas pikiran
dan kemauan. Itulah inder rasa. Yang khas pada rasa atau kesenangan estetika
ialah ia tidak mengandung kepentingan. Ini membedakannya daripada kesenangan-kesenangan
yang lain yang mengandung unsur keinginan atau terlibat dalam kepentingan
pribadi atau hayat. Gula misalnya tidaklah indah tapi dikehendaki. Kita
menginginkannya untuk menikmatinya. Demikian pula tindakan moral tidal indah. Ia
adalah baik. Kita menyetujuinya karena kepadanya kita mempunyai kepentingan.
Sebaliknya dengan keindahan. Selalu Ia merupakan objek kepuasan yang tidak
mengandung kepentingan, berbeda dari keinginan-keinginan yang lain. Indah,
sekalipun ruhaniah adalah objektif. Karena itu ia selalu merupakan objek
penilaian. Kita mengatakan: “Barang ini indah”. Hal ini menunjukkan bahwa
keindahan itu merupakan sifat objek, tidak hanya sekedar selera yang subjektif.
Demikianlah teori Kant.[13]
Di dalam Islam sendiri konsep “keindahan” itu sangat
jelas sekali. Sumber keindahan itu bahkan bersumber dari Ilahi. Dikatakan bahwa
“Allah itu Maha Indah dan menyukai keindahan”. Demikian juga alam sebagai
ciptaannya merupakan sesutau yang indah dan menakjubkan. Bagaimana kita
seringkali mengagumi keindahan alam yang ada di sekitar kita. Hal ini merupakan
sebuah ekspresi nyata yang sering kali kita ungkapkan. Artinya suatu nilai
estetika benar-benar merupakan sesuatu yang objektif bukan subjektif sebagaimana
nilai etika.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
a. Landasan
ontologis dari ilmu pengetahuan adalah analisi tentang objek materi dari ilmu
pengetahuan. Objek materi ilmu pengetahuan adalah hal-hal atau benda-benda
empiris.
b. Landasan
metafisika merupakan bagian Filsafat tentang hakikat yang ada di
sebalik fisika. Hakikat yang bersifat abstrak dan di luar jangkauan pengalaman
manusia. Tegasnya tentang realitas kehidupan di alam ini: dengan mempertanyakan
yang Ada (being). Secara etimologi meta adalah tidak dapat di
lihat oleh panca indera, sedangkan fisika adalah fisik. Jadi
metafisika adalah sesuatu yang tidak dapat di lihat secara fisik. Yang tidak
bisa di uji secara empiris.
c. Landasan
epistemologis dari ilmu pengetahuan adalah analisis tentang proses tersusunnya
ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan disusun melalui proses yang disebut metode
Ilmiah (keilmuan).
d. Landasan
aksiologis dari ilmu pengetahuan adalah analisis tentang penerapan hasil-hasil
temuan ilmu pengetahuan. Penerapan ilmu pengetahuan di maksudkan untuk
memudahkan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dan keluhuruan hidup manusia.
3.2. Saran
Sebenarnya
dalam memahami filsafat bukanlah salah tetapi dalam hal berpikir tidak boleh
bertentangan dengan agama. Para filosof memikirkan segala permasalahan sampai
keakar-akarnya. Begitu juga yang dapat kita ikuti contoh dari mereka akan
tetapi kita membuat batasan yang tidak boleh menentang dari ajaran kita “agama
Islam yang berlandaskan al-Qur’an dan Hadits”.
[1] Anas Salahudin, Filsafat Pendidikan, Bandung : Pustaka
Setia, 2011, Hal.11
[5]
Lorens Bagus, Metafisika, Suwandi
(ed.), (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,1991), hal.1
[6] Ahmad Mahmud
Shubhi, Filsafat Etika, cet 1, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta,
2001). Hal. 43.
[7]
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat
Islam, Cet. Kelima, (Jakarta: PT . Bulan Bintang, 1991), hal. 77
[8] Surajiyo,
2008, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta: PT. Bumi
Aksara, cet. 3, hal. 7
[9] Jujun S.
Suriasumantri, Op.Cit., hal.09
[10] Drs. Sidi Gazalba. Sistematika
Filsafat, Pengantar Kepada Teori Nilai (Jakarta, 1978), hlm. 490
[11] Drs. Sidi Gazalba. hlm. 186-187
[12] Drs. Sidi Gazalba. hlm. 567
[13] Drs. Sidi Gazalba. hlm. 571-572